Dunia pendidikan
saat ini sedang mengalami masalah yang dirasa cukup serius. Masalah yang
dimaksud adalah budaya tawuran dan geng sekolah. Masalah ini sebenarnya sudah
ada sejak dahulu, namun saat-saat inilah mulainya menjamur ke berbagai tempat. Tak luput juga di kota kecil
Yogyakarta, yang dikenal sebagai kota gudeg dan mendapat predikat kota pelajar
ini juga mendapat dampak dari penyebaran geng-geng dan tawuran antar pelajar.
Tawuran yang sering terjadi beberapa waktu ini diduga ada hubungangnya dengan
banyaknya geng-geng yang muncul di Jogja baru-baru ini. Terbukti dengan
banyaknya nama-nama geng yang dituliskan di sepanjang bangunan dan pagar di
tepi jalan besar. Tidak sulit untuk menemukan beragam tulisan itu, tulisan
nama-nama geng itu mewakili lingkungan dan komunitas tertentu. Sebuah komunitas
yang ada karena dianggap sebagai solidaritas dan jati diri, sehingga sangat
dibangga-banggakan oleh anggotanya.
Geng pelajar
harusnya mendapatkan perhatian penuh dari berbagai pihak. Karena ini menyangkut
masa depan pelajar itu sendiri. Sebagai antisipasinya, pihak sekolah harus
memberikan sanksi terhadap siswanya jika terbukti ikut dalam kegiatan tawuran
maupun ikut berpartisipasi menjadi anggota suatu geng. Selain itu pihak sekolah
juga harus mengusut tuntas tindak kriminal yang telah dilakukan oleh para
pelajarnya. Di sisi lain, dari pihak kepolisian harus menindak tegas siapa saja
yang telah melakukan tindak kriminal. Pelajar yang terjaring dalam aksi tawuran
akan diberikan pembinaan dalam berbagai cara. Yang menjadi pertanyaan besar
saat ini adalah “mengapa geng-geng sekolah itu bermunculan?”. Apakah ini
sebagian dari arus globalisasi yang begitu besar. Sehingga dengan mudahnya
pelajar mengakses kejadian kekerasan atau kriminal lainnya melalui media masa,
televisi, perfilman atau dunia maya. Akibatnya pelajar yang mempunyai karakter
keras akan cenderung mempraktekannya dalam kegiatan sehari-hari dengan
sendirinya. Apalagi, jika di sekolahnya terdapat geng, dengan sendirinya pelajar tersebut akan
cenderung ikut-ikutan dalam kegiatan geng itu. Geng-geng seperti itu, sudah
marak di berbagai daerah, namun di daerah Yogyakarta belum tampak adanya perhatian
khusus, walaupun ada beberapa yang sudah berhasil di bubarkan. Namun sebagian
beranggapan kegiatan geng-gengan ini masih wajar. Bahkan ada beberapa sekolah
yang tak tahu menahu bahwa nama-nama atau inisial-inisial yang muncul di
berbagai tempat dilakukan atau milik siswa sekolahnya. Bagi para anggota geng,
identitas kelompok atau inisial keanggotaannya sangat penting. Identitas ini
mereka sebarluaskan melalui SMS atau permanen menggunakan cat pilox yang mereka
tuliskan di tembok-tembok atau fasilitas umum lainnya. Dalam hal itu, mereka
sudah tidak memikirkan dampak dari kegiatan corat-coret mereka. Seperti
rusaknya keindahan atau kotornya perkataan karena kata-kata yang tidak
seharusnya dituliskan. Dan yang membuat prihatin, kadangkala mereka merasa puas
setelah pesan itu tertuliskan.
Dalam hal ini
kecenderungan yang terjadi adalah memilih mereka yang tampak gaul, senang
hura-hura, pemberani, suka keluar malam, berwatak keras, dan semua sifat yang
cenderung urakan. Berpedoman pada kepercayaan tersebut, menutup
kemungkinan siswa yang berkehidupan lemah, lembut, alim, taat pada agama, patuh
pada orangtua, dan terlibat dalam kegiatan sekolah untuk ikut masuk ke dalam
kelompok ini. Keberadaan kelompok yang disebut geng sekolah ini tidak mendapat
pengakuan dari sekolah. Namun, mereka kadangkala mengadakan koordinasi di
sela-sela kegiatan sekolah, terutama kumpul-kumpul setelah habis pelajaran.
Tetapi pertemuan itu hanya disisi dengan nongkrong, biasanya saat sore
dan malam hari. Untuk tempatnya seringkali memanfaatkan warung-warung makan
yang ada di sekitar sekolah, termasuk angkringan atau warung koboi,
yang pemiliknya sudah mereka kenal dengan baik. Karena pemilkik warung tersebut
sudah mengenal anak-anak tersebut, jadi dia beranggapan apa yang dilakukan oleh
anak-anak itu masih wajar. Kegiatan
kelompok geng sekolah, terutama kumpul-kumpul (nongkrong) di tempat tertentu,
jalan-jalan bersama (dengan sepeda motor, biasanya menggunakan knalpot yang blombongan
), makan-makan, melakukan corat-coret menyebarkan identitas di berbagai tempat
dan intimidasi terhadap pihak yang memusuhi mereka. Sedangkan untuk masalah
perkataan yang seharusnya tidak di ucapkan, biasa mereka lakukan langsung,
melalui telefon, SMS atau yang sedang marak saat ini adalah melalui situs jejaring
sosial (Facebook). Untuk hal ini biasa mereka lakukan karena ada dendam
kalah pertandingan, merasa tersinggung karena pandangan atau karena masalah
teman perempuan maupun laki-laki. Ketersinggungan atas nama harga diri, menjadi
penyebab utama. Dan biasanya diselesaikan dengan kekerasan atau intimidasi,
inilah awal terjadinya perkelahian antar pelajar.
Anggota geng
sekolah, biasanya akan lebih sering disebut “mereka yang tersesat”, yang
seharusnya belajar dengan baik ini tanpa mereka sadari telah menjerumuskan
dirinya sendiri dalam jurang kehancuran. Sosialisasi mereka dengan lingkungan
buruk, prestasi dan prestisi mereka di mata masyarakat juga ikut turun.
Keberadaan geng sekolah yang biasanya mengarah ke hal-hal negatif seperti
tawuran, tentu akan sangat mengganggu siswa lain yang tidak terlibat secara
langsung dalam geng. Misalnya, beberapa siswa yang cukup pandai dalam bidang
akademik akan menjadi sasaran mereka yang tersesat dalam mengerjakan tugas
sekolahnya sementara mereka yang tersesat lebih suka menyibukkan diri bersama
teman satu geng untuk melakukan hal yang sia-sia. Contoh lain pada geng
perempuan, mereka akan mengganggu siswi lain yang mereka anggap sok pamer atau
berusaha menyaingi mereka dalam hal penampilan. Kali ini saya memposisikan diri sebagai siswa mempunyai pendapat
sendiri berkaitan hal ini. Geng sekolah memang adalah sebuah anomali, tapi
pasti ada penyebabnya. Remaja pada masa SMA kurang akrab dengan orang tua
ataupun lingkungan rumah, dikarenakan pengaruh puber atau mungkin cara didik
yang keliru. Kebanyakan orangtua memberi larangan ini itu, sehingga saya
kira lumrah jika mereka merasa lebih nyaman dalam komunitas yang memiliki
kesamaan karakter atau hobi dengan mereka.
*)Penulis , Nur Hasani Fajriana
Siswi MAN Yogyakarta 1
0 komentar:
Posting Komentar