Post Icon

TRUE LOVE

Aku baru selesai latihan voly di sekolah, kaos yang kupakai berlumuran keringat dimana-mana. Kulirik jam tangan berwarna putih dipergelangan tanganku sudah menunjukan pukul 5 sore, sebentar lagi Maghrib. Aku segera mengambil tas dan menuju shelter dekat sekolahku. Aku menunggu bus datang, aku merasakan badanku sedikit pegal dan betapa capeknya aku karena seharian banyak beraktivitas. Disela-sela menunggu, aku mengeluarkan ponselku dan menancapkan kabel headset di bagian atasnya dan mulai mendengarkan musik.
and in another life
i would be your girl
Potongan lagu yang sedang kudengarkan. Tiba-tiba sebuah sms masuk. Aku langsung membukanya. Ternyata dari Ikhwan. Cowok yang sudah 3 bulan ini dekat denganku. Dan sepertinya aku sudah mulai menyukainya. Sempat juga aku coba mengutarakan kepadanya tetapi tidak frontal, dan ternyata aku tidak bertepuk sebelah tangan. Dia juga mempunyai perasaan yang sama denganku. Tapi untuk sekarang, mengingat aku yang baru kelas 2 SMA dan dia juga, maka aku dan dia memutuskan untuk tidak menjalin hubungan apapun. Murni bersahabat dahulu. Dan aku mejalaninya tanpa beban.
            aku ditembak cewek
Isi sms darinya. Aku membelalakan mata. Menatap layar ponselku dan membaca lagi. Dan ternyata memang itu isinya, aku menarik nafas dan mencoba berfikir jernih untuk membalasnya.
ya, terserah kamu. itukan hak km.
Cukup aneh bagiku. Tapi itu cukup juga untuk membuat hatiku kacau balau, berperang melawan sesaknya dada.
tenang aja, aku gk bakalan semudah itu ngelupain kata-kataku.
sukurlah...:)
Singkat. Tapi semua itu adalah salah satu penyebab keganjalan disetiap kontakku dengannya. Aku merasa dia akan meninggalkanku. Tapi kalaupun itu terjadi, aku juga tidak dapat berbuat apa-apa. Aku dan dia tidak ada ikatan, jadi dia tetap berhak memilih siapa yang akan menjadi pendampinganya kelak.
***
Hari ini adalah seminggu setelah kejadian itu. Aku dan dia masih berhubungan seperti biasa tapi tetap aja semua terasa aneh. Dan hari ini dia secara khusus mengajak aku makan di sebuah resto ayam cepat saji di dekat sekolahnya. Aku datang lebih awal dibanding dia. Aku langsung memilih tempat di dekat kaca yang dapat melihat ke arah luar resto. Saat aku ingin memesan makanan dia datang dan langsung menuju mejaku.
Saat dia mulai duduk, dia menyungingkan sedikit bibirnya. Pertanda sedikit tersenyum, setelah itu melihat ke arah luar. Aku hanya menghela nafas dan melihat raut wajahnya. Sepertinya memang ada hal penting yang akan dia bicarakan, tapi dia juga kelihatan kelelahan. Atau jangan-jangan dia akan membicarakan tentang cewek yang pernah menembaknya waktu itu. Ahh... aku langsung membuang pikiran itu secepatnya. Aku memilih menggambil tisu dari dalam tasku.
“Ini... bersihkan dulu mukamu, banyak keringat. Kayaknya kamu kecapekan banget ya?”, aku menyodorkan selembar tisu sambil tersenyum
Awalnya dia cuman memalingkan muka ke arahku. Menatapku yang tersenyum sambil menyodorkan tisu. Setelah itu terdengar dia menghela nafas dan mengambil tisu di tanganku, tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku menjadi semakin yakin bahwa dia akan membicarakan tentang hal itu.
“Kamu gak papa kan kalo aku akhirnya memilih orang lain?”
Deg... jantungku terasa berhenti, hatiku sakit, nafasku tersendat, dan perasaanku kacau balau. Aku menatapnya. Dalam... Melihat keyakinan di matanya. Dan kelihatannya dia sedang tidak bercanda, dia serius. Rasanya aku ingin segera menumpahkan apa yang ada dihatiku. Aku ingin mengatainya, tak punya hati, tega, atau apalah yang dapat menggambarkan sia-sianya penantianku selama ini. Tapi sepertinya itu akan percuma. Aku memilih menunduk, mengumpulkan tenaga untuk menjawab pernyataannya tadi, karna sepertinya dia menunggu. Sangat....
“Kalo emang itu yang terbaik. Aku gak papa”
Hah? Apa yang barusan aku katakan. Itu tak seperti apa yang ada dalam hatiku. Aku menggigit bibir, sepertinya dia tahu kalau aku berbohong. Terlihat dari ekspresi mukanya.
“Aku butuh jawaban yang jujur, tolong. Aku juga minta maaf, semua udah terlanjur. Dan aku mohon, jangan pergi... walaupun ini yang terjadi”, Suaranya berbeda. Sepertinya dia menahan penyesalan.
Aku tersenyum lalu menatapnya lembut. Kali ini aku berbicara dengan jujur meski hatiku terasa perih.
“Aku gak papa. Itu yang terbaik buat kamu, karna nantinya kamu juga yang akan ngejalaninnya. Aku akan berusaha buat terima ini semua”.
Dia membalas tatapanku. Dalam... Aku bisa merasakan detak jantungnya yang berdetak cepat.
“Please... kamu jangan pergi dulu, dari hidupku”
Aku menunduk. Rasanya aku ingin menangis, tapi mana mungkin aku menangis di depan dia.
“Aku usahain”, sahutku sambil tersenyum mengambil buku besar berwarna hijau, meletakkannya di depannya lalu berdiri memakai tas dipundak dan berjalan menuju kasir untuk membayar. Ku lihat dari sudut mata dia tidak melihat ke arahku. Dia menatap ke arah buku besar berwarna hijau yang tadi aku letakkan di depannya. Dan aku pergi meninggalkan resto itu.
***
Malamnya. Dia mengirimkan sms yang berisi permintaan maaf memohon agar aku menerima kenyataan ini. Dan lagi-lagi kalimat “ini udah terlanjur” dan juga janjinya terhadapku untuk masa depan. Tak ada yang kubalas. Karna aku sempurna menumpahkan segala kesedihanku, semua sesak dadaku dan sakitnya hatiku akan hal ini. Semuanya terjadi, seperti de javu. Pukul 9 malam aku berniat mengistirahatkan badanku yang seharian aku tuntut untuk fokus mengikuti pelajaran dan mataku yang sedari tadi mengeluarkan air mata jernihnya.
***
Paginya, aku membuka ponsel dan membalas sms dia semalam.
tenang, aku udah gk sedih lagi kok. ak udah terima semua ini
makasih ya. jangan pergi, km yg bisa ngerti ak
InsyaAllah...
Sesampainya di sekolah aku langsung menuju kursiku dan mencoba untuk fokus ke pelajaran hari itu, tapi tetap saja perasaan itu dan kejadian kemarin terus mengangguku sampai akhirnya dia menelefonku saat istirahat kedua.
km pergi?
pergi kemana?
Aku menatap ke luar jendela kelasku. Aku melihat ke arah langit. Huh... langitnya sedikit mendung. Seperti hatiku sekarang.
kenapa dari tadi gak sms atau ngontak aku? Sekedar cerita tentang sekolahmu hari ini atau apalah. kamu beda
Dalam hatiku berkata, pertanyaan bodoh. Aku bisa tahu diri, kamu udah jadi milik orang lain. Aku kan gak mau dikatain penganggu hubungan orang lain walaupun kenyataannya cuman sahabat. Sebentar lagi kamu juga pasti kan ngelupain aku.
maaf, aku daritadi fokus kepelajaran
Berbohong sedikit tapi tak apalah. Semoga dia gak tahu
aku tahu kamu bohong
Deg... dia selalu tahu. Aku menelan ludahku dengan pahit.
bisakan kita masih bisa kayak biasanya aja. jangan berubah.
yang berubah itu kamu. kamu nyadar enggak sih, seminggu kemaren kamu berubah. jadi ngejaga sikap
ya jelaslah. aku kan gak mau nyakitin perasaan cewekku.
ya itu kamu sadar. makanya jangan bebanin aku sama kata jangan pergimu itu.
Huh... akhirnya keluar juga. Aku memutuskan panggilan dan mematikan ponselku. Aku menatap ponselku dengan iba dan memasukannya ke dalam saku seragam sekolahku.
***
Sore harinya, saat aku sedang ingin keluar. Sekedar menjernihkan pikiranku dengan melihat dan merasakan suasana luar rumah, dia datang ke rumahku. Aku spontan diam dan hanya menatap kosong ke depan, sosok hitam manis dan tinggi menjulang yang baru turun dari motornya sedang berjalan ke arahku. Aku tak dapat menghindar karena jaraknya yang sudah terlalu dekat.
Ketika dia di depanku. Dia menyodorkan buku hijau yang kemarin aku berikan ke dia. Tak ada sepatah katapun yang dia ucapkan. Hanya menyodorkan lalu pergi.
“Aku sempurna kehilangan kamu” ucapku secara spontan ketika dia berbalik arah menuju motornya.
Dia menghentikan langkahnya, berbalik badan menatapku. Tatapannya penuh kata-kata. Mataku mulai berkaca-kaca dan bibirku menahan tangisku keluar.
“Jangan nangis”, ucapnya pendek lalu menuju motornya dan pergi dari rumahku.
Aku langsung berlari masuk kerumah sambil mengusap air mataku yang tak mau berhenti keluar. Saat di ruang tengah aku berpapasan dengan kakakku tapi aku tidak memperdulikannya. Aku hanya ingin segera masuk ke dalam kamarku dan langsung berbaring di kasurku. Saat itu aku menangis lagi. Buku hijau yang dia kembalikan tadi sama sekali belum aku baca, aku masih menangisi sikap dia yang begitu dingin terhadapku. Aku gak tahu apa yang telah membuat dia sampai tega seperti itu kepadaku. Yang pasti aku kecewa sama dia. Sangat kecewa...
Aku mendengar suara langkah orang masuk ke kamarku tapi aku belum tahu itu siapa.
“Aku tahu kamu kenapa. Udah kamu baca buku ini”
Ternyata yang masuk adalah kakakku. Aku langsung menoleh ke arahnya dan melihat buku hijau itu ada di tangannya. Spontan aku langsung merebut agar dia tidak membaca lebih jauh isinya.
“Apa’an sih main baca-baca aja”, ucapku masih dengan suara khas orang menangis.
“Aku tadi lihat waktu kamu ketemu Ikhwan di depan rumah tadi, sempat nguping juga”, kakakku nyengir lalu duduk di sampingku.
Aku menghela nafas lalu menghapus sisa air mataku. Rasanya aku juga ingin bercerita kepada kakakku satu-satunya ini tentang apa yang sedang aku alami.
“Kamu baca dulu deh bagian akhir bukunya”, perintah kakakku sambil mengambil buku itu dari tanganku dan membukanya pada bagian akhir yang ditulis.
Aku menerima buku itu lalu melihat tulisan yang tergores disitu. Tulisan Ikhwan, aku tahu hal itu. Aku membaca tulisan itu dari awal sampai akhir. Kira-kira dia menulis sampai 4 halaman. Isinya cukup menyakinkan dan setelah aku selesai ku tatap kakakku.
“Terima aja, kalaupun dia emang yang terbaik buat kamu. Dia pasti kembali sama kamu. Tapi kalau dia bukan yang terbaik buat kamu, pasti nanti kamu akan mendapat yang lebih baik buat kamu. Begitupun sebaliknya”, komentar kakakku ketika aku menatapnya dengan wajah sendu
Aku mengangguk lalu memeluk buku hijau itu. Aku berharap itu dapat terwujud di suatu waktu. Kakakku tersenyum lalu mengacak-acak rambutku.
“Udah gak usah nangis lagi”, ucapnya
Aku pun tersenyum lalu menyingkirkan tangannya dari kepalaku.
“Makasih ya mas”
Aku memeluknya. Aku bahagia memiliki kakak yang bisa membantu aku saat aku memang baru mebutuhkan teman. Dan dia selalu ada.
“I love you”, ucapku ditelinganya sambil sedikit berjinjit mengingat dia lebih tinggi dari aku.
“Love you too”, sahutnya lalu meninggalkan aku di dalam kamar.
***
  Hari ini aku bangun tidur terasa seperti tak ada beban. Aku langsung turun dari tempat tidurku dan masuk kekamar mandi untuk mengambil wudhu.
Setelah selesai Sholat Subuh aku melihat buku hijauku di sebelah tempat tidurku tadi. Aku mengambil dan meletakannya di dalam laci meja sebelah tempat tidurku, dan langsung menyiapkan apa aja yang akan di bawa kesekolah nanti. Aku sedikit melihat ponselku. Tak ada sms sama sekali. Jangankan dari dia, dari teman-temanku lainnya juga tidak. Aku hanya mengangkat bahu lalu memasukan ponselku ke dalam kantong kecil di dalam tasku dan bersiap untuk mandi.
***
Hari ini aku dapat mengikuti pelajaran seperti biasa. Huh... rasanya nyaman sekali, walaupun sebenarnya aku sedang dihadapkan dengan masalah perasaan yang sudah ku rawat cukup lama. Tapi ternyata memang keberuntungan belum berpihak kepadaku. Saat aku sedang menunggu kakakku menjemput, ada sms masuk ke ponselku. Aku merasa berat utuk membukanya. Karena aku belum siap jika yang sms adalah Ikhwan. Aku masih mengumpulkan tenaga untuk menghadapinya seperti biasa, walaupun aku sedikit-sedikit sudah bisa menerima keputusannya.
Mbak... ak boleh tanya sesuatu gk? #Gea
Hah? Gea? Aku gak kenal nomer ini. Dan nama pengirimnya, asing buat aku. Aku mengingat-ingat mungkin ada anak jurnal atau anak voly yang bernama Gea, tapi sepertinya gak ada.
Iy boleh... mau tanya apa? Tp maaf ini Gea siapa?
Lama aku menunggu balasan dari seseorang yang mengaku Gea itu. Sampai akhirnya aku dijemput oleh kakak ku dia tidak juga membalas. Mungkin cuman salah kirim, pikirku.
***
 Ak pacarnya Ikhwan mbk... kita bisa ketemu gk sekarang? Penting mbk..
Kita ketemu di kedai makan samping jembatan.
Isi sms dari yang mengaku Gea tadi, dan sekarang dia bilang kalau dia pacar Ikhwan. Tapi dia mengajak aku ketemu. Buat apa?
Cukup lama aku berpikir. Aku putuskan untuk menemuinya tanpa memberitahu Ikhwan karena sepertinya Gea itu sudah menungguku. Aku mengambil kunci motor dan jaketku lalu berpamitan dengan kakakku. Kakakku hanya menanggapi dengan perintah jangan pulang larut malam. Akupun pasti menyanggupinya.
***
Sesampainya di kedai aku langsung membuka ponsel dan membalas sms Gea, memberitahu bahwa aku telah sampai di kedai itu. Tak lama dia juga memberitahu kalau dia ada di meja nomer 7. Aku langsung menuju ke meja tersebut.
Kulihat ada seorang cewek dengan menggunakan celana jeans panjang dengan kaos warnya oranye lengan ¾ mengunakan bando putih bintik hitam dengan gaya rambut digerai dan poni di atas alisnya, cukup manis kelihatannya. Cewek itu sudah duduk menghadap arah kedatanganku. Aku pun tersenyum lalu duduk di kursi depannya, aku lihat dia juga membalas senyumanku.
Dia mengulurkan tangannya.
“Gea..”
Suaranya cukup lembut.
Aku membalas uluran tangannya dan menyebutkan namaku.
“Hana”
Setelah itu aku dan dia cukup lama terdiam. Sampai akhirnya suara lembutnya terdengar lagi.
“Langsung aja ya. Maaf kalo sebelumnya aku ganggu kamu”
Dia tersenyum, manis sekali. Pantas Ikhwan bisa tertarik dengannya. Loh aku ini malah mikir apa sih, bodohnya diriku. Aku hanya menanggapi pernyataannya tadi dengan mengangguk.
“Kamu beneran suka sama Ikhwan? Tuluskah kamu sayang sama dia?”
Nada suaranya agak berbeda. Aku tercengang dengan pertanyaannya barusan. Aku menjadi bingung harus menjawab apa, aku memutar keras otakku mencari jawaban yang tepat. Tidak mungkin aku menjawab terang-terangan, jujur di hadapan dia. Itu akan membuat hatinya sakit. Cukup aku aja yang mengalaminya.
“Jawab dengan jujur”
Aku baru mau bersuara, dia sudah memotongnya dengan ucapan yang biasa di ucapkan Ikhwan saat aku banyak memutar otak untuk membuat suatu alasan atau kebohongan. Akhirnya aku menyerah, menarik nafas dan mulai menjawab.
“Bismillah, iya aku suka sama Ikhwan. Aku tulus sayang sama dia. Maaf aku cinta sama dia. Tapi sekarang dia kan udah lebih memilih kamu. Jadi kalian tinggal ngejalanin aja. Anggap aja aku gak pernah hadir sebelumnya”
Aku menghela nafas. Kelihatannya Gea juga menghela nafas. Mungkin penyataanku barusan sudah berhasil merobek hatinya yang baru mekar karena perasaannya dibalas oleh Ikhwan. Oh.. aku minta maaf Gea, pikirku. Dia tak bereaksi sedikitpun. Akupun semakin tak enak hati dengannya. Darimana dia bisa tahu tentang ini semua.
“Enggak mbak. Kamu harus tetep mertahanin perasaanmu ke Ikhwan. Kamu lebih merasakan sakit daripada aku sekarang, aku bisa ngerasaain itu. Sekarang rebut kembali hati Ikhwan, aku akan ngerasa berdosa dan lebih sakit karena dia tak ada sedikitpun perasaan sama aku”
Suaranya sudah parau. Aku menawarkan tisu yang selalu kubawa kepadanya. Dia menolak. Aku menarik nafas lagi dan memasukan tisu itu ke kantong jaketku.
“Gak bisa... ini udah jadi keputusan dia. Aku gak ada hak sedikitpun buat ngurusin. Kalian kan udah resmi jadian. Jadinya kalian tinggal jalani aja, gak usah peduli dengan aku, karena gak ada hubungannya sama aku.”
Hatiku lemas, aku sebenarnya menahan rasa sesak di dada. Kenapa saat aku sudah bisa menerima semua, ini harus terjadi. Dan betapa bodohnya aku bisa menjawab seperti itu.
“Enggak mbak, aku gak bisa nerusin ini. Ini bukan jalan takdirnyanya. Aku mau kamu ambil kembali hati Ikhwan yang sempat aku curi, dia juga punya perasaan yang sama kayak kamu”
Gea pergi... dengan senyum. Aku tak dapat berpikir lagi. Aku langsung mengambil ponselku dan menekan nomer lalu menekan tombol panggilan, menempelkannya di telinga kiriku.
Tutt..
Belum diangkat
Tutt..
Masih belum di angkat. Aku berdiri dari kursi tempat dudukku tadi dan berjalan menuju teras depan kedai itu.
Ada apa?
Suaranya berat, dia pasti sedang memikirkan sesuatu.
Kenapa Gea bisa tahu, semuanya?
Tanyaku langsung pada pointnya.
Hhh...
Terdengar dia menghela nafas
Aku cerita semua ke dia
Apa? Mataku melotot
Kenapa kamu lakuin? Kamu gak ngerti’in perasaan dia. Apa emang kamu itu gak punya perasaan ya?
Aku mengeluarkan emosiku
Aku minta maaf...
Suaranya merendah
Aku gak bisa ngebohongin perasaanku sendiri
Aku menghela nafas. Melirik ke arah jam di kedai itu. Pukul 8.30, aku harus segera pulang.
Aku gak habis pikir sama kamu. bisa-bisanya kamu lakuin ini semua disaat aku udah bisa terima semuanya.
Aku mematikan ponselku dan langsung keluar menuju motorku dan pulang.
***
 Pagi harinya, saat aku sudah siap akan diantar ke sekolah kakakku. Dia datang, Ikhwan datang dengan seragam sekolahnya. Sepertinya dia juga sudah siap berangkat sekolah. Tapi untuk apa dia kerumahku.
Dia turun dari motornya lalu berjalan ke arah aku dan kakakku.
“Mas boleh gak hari ini aku yang antar Hana ke sekolah”, pintanya sambil tersenyum kepada kakakku
Kakakku menatap ke arahku, aku hanya diam. Sampai akhirnya dia mengangguk lalu menyuruhku ikut Ikhwan. Aku hanya menurut. Jujur aku juga ingin berbicara suatu hal kepadanya. Jadi aku rasa inilah waktu yang tepat, daripada aku harus memutar otak untuk mencari cara untuk berbicara dengan dia.
***
Dia menghentikan motornya di depan warung makan bubur ayam. Dia menyuruhku turun, aku hanya menurut. Dia lalu menggandeng tanganku masuk ke dalam warung itu. Jantungku menjadi berdebar-debar.
            Setelah dia memilih tempat duduk, dia mempersilahkan aku duduk. Dan lagi-lagi aku hanya menurut. Lalu dia memesan.
            Saat menunggu pesanan datang aku hanya menunduk, melihat ke arah jari tanganku yang aku beri kutek berwarna merah ke oranyean. Tak lama pesananpun datang, dia menyuruhku makan. Jujur aku sedang tidak nafsu makan, tapi apa boleh buat. Aku gak bakalan bisa menolaknya.
            “Aku putus. Kamu udah tahu?”, ucapnya di tengah-tengah makan
Aku langsung kaget dan tersedak. Langsung dia menyodorkan minum kepadaku. Aku menerima dan meminumnya sampai habis setengah, dia tersenyum.
            “Sebenarnya aku tahu kalau akhirnya begini”, sambungnya lagi. Kali ini dia menatap ke arah mangkuk buburnya yang baru habis ¼.
Aku menatap ke arahnya.
“Aku belum tahu, tapi tadi malam aku ketemu sama Gea”
“Ohya?”, jawabnya langsung sambil mengangkat mukanya menatapku.
Aku hanya mengangguk.
Hhh...
Dia menghela nafas
“Berarti aku udah gak usah ngejelasin semuanya”, ucapnya
Aku mengangguk lagi
“Tenang aja, aku sekarang gak bakalan ngelakuin itu lagi. Aku cuman mau ngebukti’in perasaanku yang sebenarnya sama kamu. Dan ternyata emang aku gak bisa pisah sama kamu”, ucapnya sambil menatap lembut ke arahku
Aku merasa darahku mengalir cepat.
“Kamu tahu kan aku susah buat suka sama cewek?”, tanyanya
Aku menatap matanya
“Iya.. tapi mudah membuat cewek jatuh cinta sama kamu. Siap-siap aja di tembak cewek lagi”
Duh... Kenapa aku jawab begitu.
Dia tertawa kecil
“Gak lah.. aku gak mau buat kamu nangis lagi?. Untuk kali ini gak akan lagi”
Aku terdiam lalu tiba-tiba dia mendekat ke arahku dan langsung memeluk tubuhku.
“Tolong jangan pergi... aku takut kehilangan kamu”, bisiknya
Aku membalas pelukannya.
“Kamu juga jangan pergi lagi ya”, ucapku
“Gak akan..”, balasnya sambil mempererat pelukannya

*** THE END ***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar